Surat AL-IKHLASH (TULUS-)
Surat 112: 4 ayat
Diturunkan di MAKKAH
سورة: الإخلاص
Oleh : Prof. DR. Hamka
1- Katakanlah: "Dia adalah Allah, Maha Esa." Say: He is Allah, the One and Only; | قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ |
2- Allah adalah pergantungan. Allah, the Eternal, Absolute; | اللَّهُ الصَّمَدُ |
3- Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan. He begetteth not, nor is He begotten; | لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ |
4- Dan tidak ada bagiNya yang setara, seorang jua pun. And there is none like unto Him. | وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ |
1. "Katakanlah" — Hai UtusanKu— "Dia adaiah Allah, Maha Esa." (ayat 1). Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH namaNya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia.
Pengakuan atas Kesatuan, atau Keesaan, atau tunggalNya Tuhan dan namaNya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci mumi, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu Iebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.
Tidak ada yang menyamaiNya, tidak ada yang menyerupaiNya dan tidak pula ada teman hidupNya. Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau Dia berbilang, terbahagilah kekuasaanNya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang berkuasa.
2. "Allah adalah pergantungan." (ayat 2). Artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepadaNyalah bergantung. Ada atas kehendakNya.
Kata Abu Hurairah: "Arti ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepadaNya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun."
Husain bin Fadhal mengartikan: "Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia kehendaki."
Muqatil mengartikan: "Yang Maha Sempuma, yang tidak ada cacatNya."
3. "Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan." (ayat 3).
Mustahil dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah mati-mati. Dahulunya tidak bepermulaan dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak yang akan melanjutkan atau menyambung kekuasaanNya sebagai seorang raja yang meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau Dia berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang menurut susunan kepercayaan mereka sama dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama bapak dan ada pula yang bernama anak. Dan kalau anak itu kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.
4. "Dan tidak ada bagiNya yang setara, seorang jua pun. " (ayat 4). Keterangan; Kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaanNya.
Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapaNya mati. Kalau diakui bahwa Dia berbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa "keduanya" akan sama-sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasaNya, yakni masing-rnasing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempuma ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak kuasaNya, tiada terbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan tiada tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur, belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. ltulah yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini dinamai pula Surat al-Ikhlas; artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika; dengan berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini turun ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi; صِفْ لَنَا رَبَّكَ "Shif lanaa rabbaka"; (Coba jelaskan kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau loyangkah?).
thank you
ردحذفsyukron atas tafsirnya.
ردحذفfitnah anda atas umat nasrani sudah dicatat. Anda sendiri yang akan menuainya
ردحذفto. pongboy segera tobat sblum ajal menjemput dalami islam dan pelajari gw doain moga allah beri hiadayh .amin
ردحذفbangsat lu pongboy????
ردحذفإرسال تعليق